Segala puji bagi Allah Rabb Jibril, Mika’il, dan Israfil. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi terakhir dan panutan terbaik untuk segenap insan. Amma ba’du.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati untuk menetapi kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3)
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah kamu di dunia ini sebagaimana layaknya seorang yang asing atau musafir yang sedang melintasi suatu jalan.” Ibnu Umar berkata, “Apabila kamu berada di waktu sore janganlah menunda-nunda hingga tiba waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunda-nunda hingga datang waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum tiba kematianmu.” (HR. Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq)
Saudaraku, seolah-olah dunia ini telah menipumu. Ketika dunia dengan segenap perhiasannya mengelabui manusia dengan warna-warninya yang menarik nafsu dan mengundang minat para pemuda, datanglah syaitan berwajah manusia yang membisikkan ke telingamu, “Ayo, nikmatilah masa mudamu! Sekarang ini adalah saatnya untuk kamu menunjukkan jati dirimu! Ini adalah akhir pekan, ayo kita week-end di tempat yang istimewa, yang akan memuaskan kesenanganmu! Tak usah kau ragu, untuk apa kau sibukkan dirimu dengan buku dan rekaman-rekaman kajian itu? Nikmatilah, hidupmu! Bebaslah, jangan jadikan duniamu bagaikan penjara [!!!].” Inilah contoh ungkapan begundal syaitan yang gemar menipu dan menyesatkan keturunan Adam sejak dahulu.
Tahukah engkau, wahai saudaraku… Perjalanan hidup yang tidak lama ini, bagi seorang ‘musafir’ adalah ‘sepotong siksaan’ (qith’atun minal ‘adzab) yang melukai hati dan perasaannya. Jauh dari ‘sanak famili’, jauh dari ‘sahabat dan tetangga’, dan sangat jauh dari panutan kita yang sejati. Kita hidup di tengah keterasingan, namun beruntunglah orang-orang yang asing (al-Ghuroba’), yaitu yang berusaha untuk menghidupkan kembali Sunnah yang nyaris mati dan Aqidah yang telah luntur dari dada anak negeri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)
Saudaraku, yang dimaksud ‘orang asing’ di sini tentu saja bukan turis manca negara, yang kesana kemari berjalan dengan busana ketat dan mini, bukan pula wisatawan lokal yang kebingungan mencari kuburan wali untuk dikunjungi demi mencari berkah serta kelancaran rezeki. Tentu bukan itu, wahai saudaraku yang kusayangi… Akan tetapi orang yang asing itu adalah orang yang mempersembahkan sholat dan sembelihannya, hidup dan matinya, segalanya demi Rabb alam semesta. Orang-orang yang tidak terlalaikan oleh kehidupan dunia dari mengingat dan mengagungkan Rabb mereka. Orang-orang yang tidak menjual akheratnya demi mendapatkan secuil dunia yang hina dan tak berharga. Orang-orang yang memiliki keyakinan sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair cendekia,
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas
Mereka men-thalaq/menceraikan dunia karena khawatir akan fitnahnya
Mereka cermati isi dunia, maka tatkala
Mereka mengerti kalau ternyata dunia
Tidak layak untuk dijadikan tempat hidup selama-lamanya
Maka mereka ‘menyulap’ dunia menjadi samudera
Dan mereka gunakan amal salihnya sebagai bahtera
Yang berlayar di atasnya
Saudaraku, apa yang hendak kau katakan tentang generasi muda kita yang siang dan malam disirami dengan bisikan-bisikan syaitan dan disuguhi dengan atraksi-atraksi kemungkaran? Apakah yang ingin kau ungkapkan tentang kondisi teman-teman kita, yang dulu masih senang berkumpul di taman-taman surga (baca: majelis ilmu) kini telah beralih ke tepi pantai dan lereng gunung -di mana orang biasa berpacaran-, markaz-markaz game, atau bioskop-bioskop pribadi yang siap memuaskan pengunjung di dalam bilik-bilik internet di kota maupun pelosok-pelosok desa? Inikah yang mereka sebut sebagai kemajuan jaman dan peradaban yang tinggi itu? Ketika manusia sudah menjelma menjadi ‘binatang-binatang’ yang tidak lagi mengenal halal dan haram, tidak mengenal tauhid dan syirik, tidak peduli iman atau kekafiran, apalagi taat dan kemaksiatan… fa inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Sungguh benar firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali Imran: 102). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Taatilah Allah dan taatilah rasul dan wasapadalah, apabila kamu berpaling maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban utusan Kami hanyalah menyampaikan dengan jelas.” (QS. al-Ma’idah: 92). Allah ‘azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Akan tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sedangkan akherat itu jelas lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17). Allah ta’ala juga mengingatkan (yang artinya), “Alif lam lim. Apakah manusia itu mengira dia akan dibiarkan mengucapkan ‘kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diuji. Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka hal itu agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang benar dan siapakah yang dusta.” (QS. al-Ankabut: 1-3). Allah ta’ala juga memperingatkan (yang artinya), “Di antara manusia ada orang-orang yang mengatakan ‘kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal sesungguhnya mereka bukan orang-orang mukmin. Mereka hendak mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman, padahal sebenarnya mereka tidak menipu siapa-siapa selain diri mereka sendiri. Namun, mereka tidak menyadarinya. Di dalam hati mereka terdapat penyakit, maka Allah pun tambahkan kepada mereka penyakitnya…” (QS. al-Baqarah: 8-10)
Kita hidup di saat sebagian besar para pemuda tidak berhasrat untuk menyelami kandungan ayat-ayat suci, tidak merasa enjoy dengan menyimak sabda-sabda Nabi, apalagi tergerak untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar di berbagai penjuru bumi. Mereka terlena oleh artis-artis film, penyiar-penyiar televisi, jadwal pertandingan bola kaki (baca: sepak bola), dan pusat-pusat perbelanjaan yang memanjakan pengunjung dengan barang-barang dan makhluk-makhluk yang menggiurkan. Mereka lebih mengenal seluk-beluk berita terkini selebriti daripada sejarah kepahlawanan para sahabat Nabi. Aduhai, di jaman apa kita sekarang ini?
Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “La ilaha illallah. Hampir-hampir saja kebinasaan menimpa bangsa Arab akibat keburukan yang sudah dekat. Pada hari ini dinding yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj telah terbuka sebesar ukuran ini.” -Sufyan, salah seorang periwayat menggambarkan dengan melingkarkan jarinya seperti angka sepuluh-. Zainab binti Jahsy radhiyallahu’anha mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa sementara di antara kami masih banyak orang salih?”. Maka beliau menjawab, “Iya. Apabila perbuatan maksiat telah merajalela.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Fitan). Apabila kemaksiatan dengan berbagai macam bentuknya telah merajalela, maka apa jadinya nasib kita -wahai saudaraku-?!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat jatuhnya fitnah di sela-sela rumah kalian bagaikan tempat-tempat jatuhnya air hujan.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Fitan). Kalau di masa Nabi masih hidup saja, fitnah itu telah turun ke permukaan bumi bagaikan turunnya air hujan, maka bagaimanakah fitnah yang datang sesudah wafatnya beliau dan setelah berlalunya para khulafa’ur rasyidin, bukankah ia laksana terpaan gelombang lautan, dan seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Ketika itu, di pagi hari seorang hamba masih berhias dengan nilai-nilai keimanan, namun di sore harinya dia telah terperangkap dalam jerat-jerat kekafiran, nas’alullahal ‘afiyah!
Maka sekarang jawablah pertanyaanku, wahai saudaraku… mengapa kita harus ikut-ikutan edan (gila) sebagaimana orang-orang yang telah terbius oleh tipu daya syaitan dan bala tentaranya? Apakah kita akan menjawab dengan jawaban orang yang ngawur, “Nek ora edan ora komanan.” Kalau tidak ikut gila nanti tidak kebagian. Maka ingatlah wahai saudaraku, … memang jatah untuk orang-orang yang beriman akan disempurnakan oleh Allah di akherat kelak, bukan di sini! Tidakkah kau ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maukah kukabarkan kepada kalian tentang penduduk surga? Setiap orang yang lemah dan diremehkan. Seandainya dia berdoa dengan bersumpah atas nama Allah niscaya Allah kabulkan doanya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Betapa banyak orang yang rambutnya kusut dan ditolak di pintu-pintu gerbang, namun seandainya dia berdoa dengan bersumpah atas nama Allah maka Allah pasti kabulkan permintaannya.” (HR. Muslim). Lihatlah mereka -para penduduk surga- yang di dunia dihinakan dan diejek oleh manusia, namun di sisi Allah mereka jauh lebih mulia daripada para majikan dan raja-raja!
Untuk apa kau tukar akherat yang kekal dengan dunia yang sementara? Tidakkah kau ingat betapa luas dan besarnya neraka sehingga akan siap dan pasti muat untuk menyiksa siapa saja yang durhaka kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini -hari kiamat- neraka Jahannam didatangkan dengan tujuh puluh ribu tali kekang yang melekat padanya. Di setiap tali kekang itu terdapat tujuh puluh ribu malaikat yang menyeretnya.” (HR. Muslim).
Untuk apa kau tukar akherat dengan dunia, sementara di akherat nanti kematian akan disembelih dan binasa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka pun telah memasuki neraka, maka kematian didatangkan lalu diletakkan di antara surga dan neraka, kemudian ia disembelih. Lalu ada yang berseru, ‘Wahai penduduk surga, kematian sudah tiada! Wahai penduduk neraka, kematian sudah tiada!’. Maka penduduk surga pun semakin bertambah gembira, sedangkan penduduk neraka justru semakin bertambah sedih karenanya.” (HR. Muslim). Nah, kira-kira di manakah tempat yang nyaman ketika itu, di surga ataukah di neraka?
Ya Allah kami memohon kepada-Mu surga dan kami berlindung kepada-Mu dari api neraka.
Segala puji hanya bagi-Mu, yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali diri-Mu. Salawat dan salam semoga terus tercurah kepada seorang hamba dan utusan-Mu, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka hingga kiamat tiba.
Yogyakarta, awal Dzulhijjah 1430 H
Yang selalu membutuhkan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
-semoga Allah mengampuninya-
http://abumushlih.com